Senin, 19 Maret 2012

Tanah Abang (Tenabang)

        Tanahabang merupakan resapan kata dari kata Tenabang dengan definisi atau arti kata dengan sejarah dan latar belakang yang beraneka-macam.  Perubahan jaman memberikan kontribusi dalam perubahan yang terjadi dalam sejarah wilayah yang sangat populer ini.  Tenabang menurut beberapa sumber sejarah berasal dari kata NABANG, sebuah pohon sejenis palm yang banyak tumbuh di daerah yang banyak dikelilingi rawa-rawa.  Orang Belanda menyebutnya DE NABANG yang lambat-laun populer di telinga masyarakat dan entah bagaimana kemudian berevolusi menjadi sebutan TENABANG.   Penamaan atau sebutan wilayah seperti itu memang jamak terjadi dan berlaku juga di wilayah sekitar jakarta, disamping karena mudah diingat juga karena banyaknya perkebunan yang ada di sekitar wilayah itu seperti penyebutan untuk Kebon Kacang, kebon sirih, kebon jahe dan lain sebagainya.

         Kawasan TENABANG itu sendiri awalnya merupakan milik pribadi orang-orang Belanda berupa hutan atau tanah kosong yang kemudian disewa oleh orang China untuk dijadikan wilayah pertanian atau peternakan. Untuk perkebunan mereka biasanya menanam tebu, sirih, jahe, melati, kacang sesuai kebutuhan komoditas yang dibutuhkan saat itu.  Tenabang juga dikenal sebagai kober, sebutan untuk areal pemakaman, karena digunakan juga untuk mengubur jenazah yang mesti diangkut terlebih dahulu dengan sampan melewati rawa sebelum sampai ditanah pekuburan.

        Versi lain berdasar buku “Kampung Tua di Jakarta” yang diterbitkan Dinas Museum dan Sejarah DKI, pemberian nama Tanah Abang diilhami dari kondisi tanah di wilayah tersebut yang berwarna merah.  Abang dalam bahasa jawa berarti merah, yang diberikan oleh pasukan Mataram dari tanah Jawa yang tengah berperang dengan VOC dan membuat basis-basis pertahanan di sekitar wilayah tersebut.

 

Sejarah Tanah Abang

Kompleks Pasar Tanah Abang merupakan salah satu objek sejarah di Ibukota. Mengutip buku 250 Tahun Pasar Tanah Abang yang diterbitkan PD Pasar Jaya pada 1982, Tanah Abang tidak terlepas dari sejarah Kota Jakarta. Memang sampai saat ini belum diketahui secara pasti asal nama Tanah Abang, karena belum ada sumber sejarah tertulis mengenai penemuan nama tersebut.
Nama Tanah Abang mulai disebut-sebut pada pertengahan abad ke-17, sehingga banyak orang memperkirakan nama itu berasal dari tentara Mataram yang menyerang VOC pada 1628.

Tentara Mataram, seperti dituliskan dalam sejarah, tidak hanya melancarkan serangan dari arah lautan, namun juga mengepung kota dari arah selatan. Tentara Mataram menggunakan Tanah Abang sebagai pangkalan perang mereka, karena konturnya yang berbukit-bukit dengan genangan rawa-rawa di sekitarnya, yang mengalir ke Kali Krukut. Kawasan itu bertanah merah, atau "abang" dalam bahasa Jawa. Diperkirakan dari sana nama itu muncul.

Pada tahun 1940 terjadi Peristiwa Chineezenmoord, pembantaian orang-orang China, perusakan harta benda, termasuk Pasar Tanah Abang diporak-porandakan dan dibakar. Pada tahun 1881, Pasar Tanah Abang kembali dibangun dan yang tadinya dibuka pada hari Sabtu, ditambah hari Rabu, sehingga Pasar Tanah Abang dibuka 2 kali seminggu. Bangunan Pasar pada mulanya sangat sederhana ,terdiri dari dinding bambu dan papan serta atap rumbia dari 229 papan dan 139 petak bambu.. Pasar Tanah Abang terus mengalami perbaikan hingga akhir abad ke-19 dan bagian lantainya mulai dikeraskan dengan pondasi adukan. Pada tahun 1913, Pasar Tanah Abang kembali diperbaiki. Pada tahun 1926 pemerintah Batavia membongkar Pasar Tanah Abang dan diganti bangunan permanen berupa tiga los panjang dari tembok dan papan serta beratap genteng, dengan kantor pasarnya berada di atas bangunan pasar mirip kandang burung. Pelataran parkir di depan pasar menjadi tempat parkir kuda-kuda penarik delman dan gerobak. Di situ tersedia kobakan air yang cukup besar, dan di seberang jalan ada toko yang khusus menjual dedak makanan kuda. Beberapa puluh meter dari toko dedak ada sebuah gang yang dikenal sebagai Gang Madat, tempat lokalisasi para pemadat. Pada zaman pendudukan Jepang, pasar ini hampir tidak berfungsi, dan menjadi tempat para gelandangan.

Pasar Tanah Abang semakin berkembang setelah dibangunnya Stasiun Tanah Abang. Ditempat tersebut mulai dibangun tempat-tempat seperti Masjid Al Makmur dan Klenteng Hok Tek Tjen Sien yang keduanya seusia dengan Pasar Tanah Abang. Pada tahun 1973, Pasar Tanah Abang diremajakan, diganti dengan 4 bangunan berlantai empat, dan sudah mengalami dua kali kebakaran, pertama tanggal 30 Desember 1978, Blok A di lantai tiga dan kedua menimpa Blok B tanggal 13 Agustus 1979. Pada tahun 1975 tercatat kiosnya ada 4.351 buah dengan 3.016 pedagang.

Setelah terjadi kebakaran pada tahun 2003, hampir seluruh kios-kios di pasar Tanah-abang hangus terbakar. Sisa bangunan yang masih berdiri tinggal Blok B, C dan D, sedangkan blok A sudah tidak layak pakai lagi langsung dirobohkan. Kemudian setahun kemudian menyusul Blok B, C, dan D yang pondasinya juga sudah tidak kuat lagi juga di robohkan. Ditempat inilah mulai didirikan Blok A yang selesai pada tahun 2005, dan Blok B yang selesai akhir tahun ini 2010. Pasar Blok A dan B ini sudah merupakan pasar modern yang menyerupai mal mal lain, full AC, parkir luas dan gedung bertingkat tinggi  dengan mengedepankan faktor kenyamanan dan keamanan.

Sumber: